
Tahun ini kemarau lebih panjang, dibanding beberapa tahun sebelumnya. Dedaunan mulai meranggas, tak tahan sengatan matahari, bahkan daun yang berjajar sepanjang pematang sawahpun, mulai bekeraras, dan jalan desa yang sempit mulai meniupkan debu yang mengganggu mata dan pernapasan, rumput mengering, dan air sungai yang meliuk dipinggiran kampung mulai menyusut. Panas. Memang ini musim panas.
Panas terik, panas tengteng kata orang tua kampung. Rumah beratap ilalang yang berjajar ditanah miring kampung ini seakan api dalam sekam, seketika bisa menimbulkan kebakaran bila api kecil menyentuh pagar bambu dan ilalang dari rumah rumah yang menyimpan banyak rahasia tentang masa lalu tempat ini.
Sebuah kampu terletak disudut kampung. Didalamnya terdapat empat buah berugaq, berugaq agung, tempat para pemimpin agung duduk, dijamu dan dihormati, satu buah berugaq gerantung, tempat peralatan kesenian untuk menyambut tamu agung, sebuah lagi berugaq pengapeq, tempat menaruh makanan bagi tamu agung, sebuah lagi berugaq untuk menyediakan sejumlah penganan untuk buah tangan tamu agung. Tempat ini sungguh agung, walau dipagari bambu yang ditata rapi, tak seorangpun boleh masuk kedalam wilayah kampu, kecuali ijin yang dipertuan agung, hanya pada hari tetentu yang diagungkan. Tempat ini amat berwibawa sebagai simbol kesatuan dan kehebatan sekumpulan orang yang sangat menghormati pranata dan aturan yang telah ditetapkan oleh tua lokaq ratusan tahun silam. Tempat ini adalah tanah suci bagi sekumpulan orang yang mengelilnginya sepanjang sejarah kelahiran peradaban purba yang dilakoni semua masyarakatnya.
Tepat dibalik pagar kampu, berdiri sebuah rumah tanah, beratap ilalang,berpagar gedek bambu, tapi ukurannya, susunan atap dan pagar dindingnya, jauh lebih rapi dan anggun dibandingkan dari semua rumah yang ada diseluruh kampung dan kampung manapun diseantero wilayah tanah suci itu. ”Rumah siapakah ini”?. Seorang lelaki, empat puluhan tahun, mengenakan kain tenunan lusuh, tanpa baju, menatapku dengan penuh selidik, lalu dengan suara kecil menjelaskan ”gedeng raden”. Artinya sebuah bangunan pagar gedek dan atap ilalang yang letaknya persis disamping kampu, bersemayam seorang yang sangat penting, dihormati dan dipuja oleh semua penduduk kampung dan seantero wilayah sekitarnya. Dia seorang raden, bangsawan dan raja yang amat dihormati. Dia seorang raden. Aku teringat pada saat upacara adat mengaji alif, seorang bertubuh besar, berkumis tebal, hidungnya mancung, matanya bersinar penuh wibawa. Orang itu duduk bersandar ditiang berugaq agung yang mengarah daye menurut letak gunung Rinjani. Hanya orang tertentu saja yang boleh duduk bersandar di tiang berugaq yang letaknya paling dekat kearah gunung Rinjani yang keramat, sindip dan penuh kesucian. Aku sangat yakin orang itulah yang disebut raden dan dialah yang tinggal di rumah yang letaknya berbatasan pagar bambu dengan kampu datu Laeq, yang terletak disudut kampung bersebelahan dengan istana para raja dari leluhurnya dimasa lalu.
Pagi ini, cerah, dan sinar matahari menyeruak diantara dedaunan dari pohon rindang yang berjajar memagari mesigit tua yang penuh debu dan tak terurus. Pagi ini memang sendu, panas dan hasil pertanian tidak cukup untuk hidup menunggu musim hujan tiba. Karena itulah sebagian besar penduduk memperpanjang tidurnya, karena tak ada yang harus dikerjakan. Disekitar kampu suci, yang sepi,tiba tiba riuh, lalu terdiam dan sepi kembali. Ada apa?. ”De–nda ilang”, seorang perempuan tua berceritra dengan suara berbisik sambil meludah air julaq sirih dan mengusap mulutnya dengan tembako susutan. Perempuan tua itu pergi, entah kemana. Sunyi. Ada duka sedang berkecamuk dibalik pagar kampu yang agung. Dari dalam gedeng raden pagi ini ada masalah. Masalah besar. De–nda ilang. Beberapa orang berkerumun dilorong jalan yang berdebu. Berbisik lalu, buyar masuk kerumah masing-masing. Dalam sekejap ceritra tentang De–nda ilang telah menjadi menu utama sarapan penduduk pagi ini.
Memang didalam gedeng raden yang berbatasan dengan kampu itu, terdapat tiga kamar tidur dan satu ruang tamu. Salah satu kamar yang letaknya paling pinggir menjadi tempat tidur de–nda, putri tunggal raden. De–nda selalu tidur lebih pagi, bangun lebih pagi, mandi, berdandan sekadarnya lalu bekerja membantu ibunya memasak untuk makan siang, makan malam dan makan pagi. Putri cantik, putih, matanya yang berbinar dan rambutnya yang ikal, hidungnya yang mancung hanya menjadi gunjingan setiap orang, khususnya lelaki diseantero wilayah Utara. Tak ada pemuda yang berani datang bertandang seperti yang dialami oleh gadis desa ditempat lain. De–nda tinggal dalam komplek yang dijaga, agar tidak tersentuh siapapun yang dapat merusak adat, kehormaan dan wibawa. De–nda tidak menikmati masa remajanya, bersenda gurau dengan teman temannya. Tak ada yang tahu bagaimana perasaannya, tetapi ia tanpak biasa saja, tenang dan selalu menampakkan dirinya sebagai gadis putri raden yang sangat dihormati. Memang kadangkala ia melihat beberapa tamu yang datang menghadap ayahnya, ketika melintas ada saja beberapa pasang mata yang melirik kemolekan wajah de–nda. Mungkian saja de–nda juga melakukan hal yang sama, lalu terjadi kontak batin, lalu terjadi kontak selanjutnya, lalu semua orang tak tahu bagaimana cara kontaknya. Bukankah tempat itu sangat tertutup, dijaga oleh para pembantu dan pintu gerbang halaman rumahnya selalu terkunci, lalu bagaimana de–nda bisa ilang? De–nda ilang, dan penduduk berbisik dan raden dan keluarganya gundah. ”Ini penghinaan”, suara raden bergetar dan wajahnya memerah.
Tapi benarkah de–nda ilang?. Semua tetangga, semua keluarga telah dihubungi. Tak ada jejak, tak ada ceritra. Bagaimana mungkin seorang gadis dalam pingitan adat, bertandang kerumah tetangga diwaktu malam?. Kalau demikian kemana si de–nda pergi tadi malam ?. Raden dan keluarganya, sudah ada firasat buruk. Ungkapan “ini penghinaan” adalah sebuah kesimpulan. Raden menyimpulkan de–nda telah lari meninggalkan rumah orang tuanya dijemput kekasih hatinya untuk menikah. ”Merariq”.Ini luar biasa. Para bangsawan tidak akan pernah membiarkan anaknya menikah dengan siapapun, kecuali dengan persetujuan kedua orang tuanya. Tak akan pernah terjadi pernikahan antara perempuan bangsawan sekelas de–nda Er yang putri tokoh terkemuka masyarakat kaum bangsawan, dengan orang yang tak diketahui asal usulnya. Bangsawan harus kawin dengan bangsawan. Raden harus kawin dengan de–nda. lalu harus kawin dengan baiq. loq harus kawin dengan laq. Ini adat, ini Harus dilaksanakan. Siapa mengingkarinya harus dikeluarkan dari keluarga. ”Buang” atau ”teteh” adalah kata yang sepadan untuk mereka yang menghina adat.
Hari Sabtu pagi. Hari keempat sejak de–nda ilang. Telah lewat tiga hari yang ditoleransi adat. Tak ada seorangpun datang membawa kabar, dimana de–nda Er berada dan mengapa ia meninggalkan rumah. Tak ada keliang yang datang membawa kabar ”selabar”:, bahwa de–nda telah dibawa lari oleh seseorang untuk diajak nikah. Dalam waktu tiga hari itu sehararusnya sudah jelas,siapa yang membawa de–nd– Er, siapa calon suaminya yang berani membawa pergi sang bidadari. Siapa tahu yang membawa lari adalah seorang bangsawan, seorang pejabat tinggi, sekelas bupati atau paling rendah seorang kepala distrik. Siapa tahu. Raden dan keluarga harap harap cemas. Tetapi tiga hari sudah lewat. Kalau demikian pasti ada yang tidak beres. Pasti bukan seorang bangsawsan, pasti bukan seorang bupati atau kepala distrik. Tetapi semuanya menjadi tidak jelas, karena tak ada kabar. tak ada selabar, tak ada orang yang datang ngesot dihalaman sambil meminta belas kasihan dari seorang pembayun dan ijin agar putri de–ndanya boleh menikah dengan lelaki yang membawanya lari. Sepi, dan keluarga merasa ditampar kehinaan besar.
Manusia Sasak, baik lelaki atau perempuan pada dasarnya bebas menentukan pilihannya untuk menikah(merariq), bercerai(seang) atau untuk memilih tidak menikah seumur hidupnya(mosot) dengan alasan apapun. Tak ada orang yang akan mencampuri urusannya, termasuk kedua orang tuanya sekalipun. Tetapi kedua orang tuanya akan bertindak keras, bilamana anak tersebut melanggar norma yang berlaku dikalangan mereka, dilingkungan mereka. Walaupun sekelompok orang yang lain lebih ramah terhadap setiap perbedaan, tetapi mereka tak akan mencampuri perbedaan itu sebagai tugas dan kewajibannya. Biarlah mereka hidup dalam perbedaan, tetapi mereka tetap menghargai perbedaan itu. ”Lein stuk lein jajak,lain gubuk lein adat”. hanya ada dalam masyarakat ini.Mereka mengakui adanya perbedaan, tetapi mereka tidak akan mengganggu pihak lainnya yang berbeda. Hilangnya de–nda Er, merupakan hal yang luar biasa, langka dan aneh. Mengapa tak ada: ”selabar”,walau pasti akan ditolak oleh raden dan keluarganya?, walaupun akan ditolak secara halus,seandainya de–nda Er dibawa kabur oleh putra seorang Bupati atau mungkin juga dibawa lari oleh seorang bangsawan kaya raya yang gagah perkasa. Kalau demikian, seluruh keluarga, seluruh komunitas adat harus mencari de–nda Er, mencari, mencari dan membawanya secara paksa, siapapun melindunginya tak pantas untuk diperhitungkan. De–nda Er harus dicari sampai dapat, dan siapapun pelakunya harus menanggung akibatnya, membayar denda adat, diusir dan dienyahkan dari kampung. Ini ” hukum adat “ kata raden dengan nada tinggi dan semua anggauta keluarga yang hadir mengamini dan bersumpah akan membela kehormatan adat. ”Kamu Sedinom pimpin pencarian ini” tambah raden dengan penuh wibawa. Sedinom, keliang senior mengangguk penuh hormat dan pak raden menepuk pundaknya, dan pak raden masuk kedalam rumahnya yang agung yang berdekatan dengan kampu adat yang suci itu.
Bagaimanakah cara de–nda Er pergi dari rumahnya dimalam hari,padahal dia seorang perempuan? pada jam berapa, dengan siapa, melalui jalan mana? Sedinom mulai mereka awal peristiwanya. Tidak ada jawaban. Lalu membuat dugaan siapa didalam kampung ini yang mungkin membantu de–nda Er keluar rumah dengan cara menyamar, berpakaian seperti orang laki, memakai songkoq kere, membawa tongkat atau parang, seperi petani yang baru pulang dari ladang? ”Ah, tak penting itu” kata Sedinom, lalu bagaimana cara mencarinya dan dimana?, berkecamuk dalam pikirannya,karena raden menugaskannya mencari de–nda dan harus dibawa pulang. Pekerjaan ini lebih sulit dibandingkan mencari maling, karena kedua belah pihak bertujuan sama antara yang lari dan yang membawa lari. Maling sapi, memaksa sapi ikut dengannya, sehingga seringkali sapi diseret seret dan akhirnya ditangkap orang banyak. Ini berbeda dan lebih sulit. De–nda Er ilang, entah kemana, tidak diseret tapi lari kencang bersama keduanya dan mungkin juga beberapa orang ikut sebagai penunjuk jalan. Maklum malam hari dan pasti melalui jalan berliku untuk menghilangkan jejak.
Ini hari keempat belas, de–nda ilang. Sedinom tidak melihat tanda tanda keberadaan de–nda dan siapakah yang membawanya lari?., dan dimanakah dia berada sekarang?. Jam 22 malam,suasana gedeng raden riuh dengan berita yang menyesakkan dada. De–nda Er telah menikah. Telah menikah dengan seorang lelaki yang bekerja sebagai polisi yang bekerja di kantor polsek. Polisi itu hanya polisi biasa, agen polisi. Tak peduli siapa orang itu, polisi, tentara atau pejabat, tapi benarkah de–nda Er telah nikah?.Bisakah pernikahan dilangsungkan tanpa wali dari orang tuanya?. Orang tuanya masih ada dan tidak satupun proses adat yang dilaluinya, tiba-tiba tersiar kabar de–nda Er telah menikah. Caranya bagaimana?. Ini pukulan dan kehinaan besar bagi raden dan keluarganya. Rupanya de–nda Er dibawa pergi pada suatu malam dua minggu yang lalu. Pergi jauh, mungkin keluar daerah, mungkin ke ibukota, lalu si polisi melaporkan kepada atasannya, lalu atasannya menyetujui perkawinan itu, lalu caranya bagaimana? Bukankah walinya masih ada, raden yang mulia? Mendengar bahwa putrinya kawin dengan seorang anggauta polisi, dendam raden dan keluarganya menggelegak bagai magma yang bergejolak di kawah gunung Barujari. ”Sedinom tugasmu belum selesai”, lalu raden meludah pertanda amarah yang tak terperikan. Sedinom terdiam, lalu beringsut pulang menyusun strategi untuk mengambil de–nda Er yang telah dilarikan dan dinikahi tanpa melibatkan keluarga dan orang tua.
Belum tentu lelaki polisi itu mlecehkan adat, atau merendahkan orang tua de–nda Er yang dicintainya lalu dinikahinya dengan caranya sendiri, dengan wali hakim dari kantor urusan agama. Semuanya belum tentu, tetapi mengapa petugas kua yang tahu tentang agama tidak memberi nasihat pada sang polisi, padahal ia tahu wali si wanita masih hidup. Lalu siapa yang salah?. Polisi itu menyadari, raden tak mungkin mengijinkan de–nda menikah dengan polisi itu, selain dari luar daerah, juga bukan kalangan bangsawan. Bisa jadi de–nda Er ikut serta menganjurkan calon suaminya agar menjauhi ayahnya yang sedang marah besar. Semuanya belum tentu benar, tetapi sudahlah, de–nda Er dan polisi luar daerah itu telah dua bulan menikah, dan semua keluarga denda– Er dalam bara api kemarahan dan merasa terhina.
“Bao daye” dan awan hujan berarak mengelilingi puncak Rinjani, lalu memencar menutupi lereng dan menumpuk kaku, di atas bukit penyesalan. Musim hujan akan tiba dan tak lama lagi, debu yang berterbangan disepanjang lorong kampung Kaki Langit akan tidur disiram air hujan dan bau tanah menjadi harum memanggil semua mahluk dalam kehidupan yang segar, sehat dan damai. Semilir angin gunung merayap perlahan, malam menyambut sore, menyongsong esok hari penuh harap.
Raden dan isterinya De–nda Koat masih duduk termangu, diatas kursi antik yang berjejer diruang tamu sederhana dalam gedeng tua dan sepi itu. Kedua orang tua itu, tak tahu apa yang akan dilakukan pada putri kesayangannya, karena ia telah pergi tanpa pamit, tanpa basa basi. Lalu tersiar kabar bahwa ia telah kawin, telah menikah tanpa ijinnya sebagai wali. Ini tamparan langsung pada keluarganya dan penghinaan kepada tata kerama adat yang dijunjung tinggi dari beberapa abad yang lalu. Kebencian dan rasa terhina bercampur aduk dalam jiwanya. Hampir dua bulan ini raden dan isterinya tidur hanya beberapa jam saja, lalu duduk termenung sambil mendesah dan berludah tanda kemarahan dan keputus asaan.
Jam 01,25 menit, Sedinom datang tergopoh gopoh dan dibelakangnya berdiri pucat de–nda Er. Raden dan isterinya bangkit dari kursi antiknya lalu memeluk erat putrinya yang telah hilang lebih dua bulan lamanya. Ketiga manusia itu menangis sesenggukan dan Sedinom yang menyaksikan kejadian itu larut dalam kegembiraan bercampur rasa takut, kalau akhirnya gerakan rahasianya diketahui oleh lelaki yang telah merenggut de–nda Er dari keluarga yang sangat terhormat itu. ”Sempuleq epe de–nda, soraq kanggo epe lalo sedepoq man setuju keluarga”. De–nda Er menangis lagi dengan suara yang lebih keras lalu menyatakan penyesalannya terhadap kedua orang tuanya. Hujan turun, menyambut kedatangan de–nda setelah lari meninggalkan rumahnya yang besar, kamar tidurnya yang besar, manja dan cinta yang selalu menyelimuti hidupnya dalam pelukan ayah dan bundanya, kini kembali ke pangkuannya lagi. Sedinom dengan pengalamannya sebagai seorang keliang, dengan rapi dapat megeluarkan de–nda Er dari asrama polisi yang padat dan sempit, lalu pergi dengan sepeda motor melalui jalan berliku yang sulit diketahui oleh siapaun juga, walaupun sekumpulan polisi buru sergap yang paling berpengalaman. Kehormatan dan tanggung jawab Sedinom memberi dorongan kuat agar de–nda Er kembali ke rumah. Dan kini de–nda Er sudah kembali ke rumah.
Gemericik air hujan yang jatuh dari atap ilalang berugaq agung dalam kampu yang suci seakan irama musik menyambut perubahan musim, menyambut kedatangan de–nda yang sudah hilang dibawa lari, lalu diambil kembali demi kehormatan dan kewibawaan.Irama kehidupan ini akan terus berputar,menghantarkan setiap mahluk manusia ketujuan akhirnya. Empat puluh tahun sudah berlalu, de–nda Er kini hidup seorang diri, tinggal dirumah yang dahulu membawa banyak kenangan manis baginya. Setiap hari kerjanya hanya memasak dan menjamu orang tua sebaya yang datang mengunjunginya. De–nda Er tidak menyesali hidupnya, karena telah merasa menghormati orang tua, keluarga dan adat istiadatnya.
Senggigi ultimo Januari 2020